I. Pendahuluan

A. Kata Sambutan

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Shalom
Om Swastiastu
Namo Buddhaya
Salam Kebajikan
Salam sejahtera bagi kita semua

Pertama-tama saya haturkan rasa syukur atas perlindungan Sang Tri Ratna sehingga acara Vesak Festival 2024 dapat terselenggara dengan baik. Vesak Festival merupakan acara perayaan hari raya Tri Suci Waisak yang diadakan di area publik dengan tujuan untuk memperkenalkan nilai-nilai universal Buddhis kepada masyarakat umum. Acara ini diadakan dibawah naungan Young Buddhist Association of Indonesia (YBAI) yang beranggotakan muda-mudi Buddhis dengan semangat untuk mengembangkan Buddha Dhamma kepada semua kalangan tanpa membedakan suku, agama, ras, dan antar golongan.

Vesak Festival 2024 mengangkat tema Mindful Leadership for Better Society dengan semangat untuk mendukung dan mengembangkan sifat kepemimpinan yang sadar dan peduli terhadap setiap aspek kehidupan mulai dari fisik, batin, alam, dan masyarakat, sehingga para pemimpin dapat menentukan arah dan membuat kebijakan yang membuat lingkungan sekitar menjadi lebih baik dan berkembang. Vesak Festival 2024 menyajikan semangat Mindful Leadership for Better Society dalam bentuk diorama dan pertunjukan seni kreatif lintas budaya sebagai wujud nyata kepemimpinan dalam setiap lingkungannya. Terdapat visualisasi diorama kelahiran calon Buddha dengan tradisi Tiongkok yang bergerak keluar dari teratai, diorama Sang Buddha memberikan contoh nyata seorang pemimpin yang merawat bhikkhu pada saat sakit secara langsung dengan didampingi para bhikkhu dari berbagai tradisi yang dapat bergerak, serta diorama Buddha Parinibbana dan lampion yang melambangkan harapan. Selain itu Vesak Festival 2024 juga mengajak pengunjung ikut merasakan seni dari seorang pemimpin yang sadar dan mampu mengarahkan anggotanya melalui rangkaian kegiatan kesenian seperti karawitan khas Jawa Timur, tarian burung enggang, wayang potehi, atraksi bian lian, seni musik, serta permainan barongsai, dan masih banyak yang lainnya.

Akhir kata, saya mewakili segenap panitia Vesak Festival 2024 berharap dengan adanya semangat Mindful Leadership for Better Society ini dapat memberikan sumbangsih kepada masyarakat, demi terwujudnya kepemimpinan dengan penuh kesadaran yang memberikan dampak positif di tengah masyarakat.

Bhavatu Sabba Maṅgalaṁ
Mettācittena

Anthony Orodiputro
Ketua Pelaksana Vesak Festival 2024

B. Trisuci Waisak

Waisak berasal dari Bahasa Sanskerta “Vaiśākha” dan Bahasa Pali “Vesākha”, yang merupakan nama dari bulan ke-4 kalender India. Hari Trisuci Waisak juga dikenal sebagai “Buddha Purnima”, “Buddha Jayanti” dan juga “Sagadawa Duchen”. Hari Trisuci Waisak jatuh pada hari ke-15 dari bulan ke-4 menurut penanggalan kalender Buddhis, dimana terdapat 3 Peristiwa yang diperingati pada hari tersebut, yakni Kelahiran Pangeran Siddhārtha, Pencapaian Penerangan Sempurna Petapa Gautama, serta Wafatnya Buddha Gautama.

(Tricycle & Karma Kagyu Calendar)

C. Young Buddhist Association Indonesia (YBAI)

Young Buddhist Association of Indonesia (YBAI) merupakan organisasi Buddhis yang khusus bergerak dalam perkembangan muda-mudi Buddhis di Indonesia. Dengan keyakinan dalam misi penyebaran ajaran Buddha yang melandaskan sifat welas asih dan kebajikan dalam mencapai tujuan mulia agar muda-mudi mampu bertumbuh kembang dengan baik sesuai ajaran Buddha dalam mengatasi segala masalah dan rintangan kehidupan duniawi.

YBAI akan terus bertumbuh untuk terlibat dalam perkembangan ajaran Buddha di Indonesia, mempropagandakan ajaran Dharma kepada muda-mudi dan memberikan sarana dan prasarana latihan jiwa kepemimpinan untuk muda-mudi Buddhis Indonesia. Dengan landasan-landasan kuat tersebut, agama Buddha di Nusantara dapat mencatatkan perkembangan yang baik untuk kehidupan umat Buddha dan non-umat Buddha. YBAI secara bertahap akan mengembangkan Buddhisme di Indonesia dengan metode modern dan dapat diterima oleh seluruh elemen masyarakat.

D. Vesak Festival 2024

Dalam memperingati hari Waisak, kami pemuda/i Buddhis yang tergabung dalam Young Buddhist Association of Indonesia (YBAI) ingin merayakannya dalam bentuk kegiatan berupa pameran dan pagelaran seni, yaitu Vesak Festival. Kegiatan ini merupakan sebuah ajang selebrasi dan apresiasi terhadap Buddha Dhamma, yang diadakan setiap tahunnya pada hari raya Waisak guna memperkenalkan ajaran Buddha kepada masyarakat umum, baik Buddhis maupun Non-Buddhis di area publik dengan misi untuk memperkenalkan dan membawa manfaat nyata dari ajaran Buddha pada masyarakat melalui nilai-nilai universal yang diajarkan sang Buddha. Nilai-nilai tersebut disajikan secara menarik dan berbeda setiap tahunnya menggunakan diorama-diorama edukatif dengan gaya bahasa yang dapat diterima oleh masyarakat umum.

Selain itu, akan ada beragam pengisi acara dari vihara-vihara di area Surabaya dan Jakarta serta sekitarnya, serta pihak-pihak luar lainnya yang akan turut serta meramaikan acara ini. Vesak Festival 2024 mengangkat tema Mindful Leadership for Better Society yang akan mengintegrasikan nilai-nilai kepemimpinan yang sesuai dan aplikatif dalam kehidupan bermasyarakat. Melalui tema acara kali ini diharapkan dapat memberikan manfaat bangsa Indonesia ini menjadi bangsa yang lebih baik di tahun 2024 ini dalam bermasyarakat dan bernegara.

E. Kontemplasi Waisak

Peristiwa penting pertama ialah lahirnya Pangeran Siddhārtha di Taman Lumbini. Ia adalah seorang pangeran suku Sakya, buah hati dari Raja Suddhōdana dan Ratu Mahāmāyā. Ratu Mahāmāyā melahirkan bayi Pangeran Siddhārtha sambil berdiri diantara dua pohon sala. Sesaat setelah lahir, Pangeran Siddhārtha tidak menangis namun bisa berjalan sebanyak 7 langkah dimana setiap pijakannya tumbuh bunga teratai. 

Saat dewasa Pangeran Siddhārtha meninggalkan kehidupan Istana dan menjadi seorang petapa. Selama 6 tahun, Petapa Gautama menyiksa diri untuk mencari jawaban atas jalan akhir dari kelahiran dan kematian berulang. Namun, tindakan ekstrem menyiksa diri justru menghambat praktik sehingga akhirnya beliau kembali merawat diri. Petapa Gautama menyadari perlunya Jalan Tengah. Melalui Jalan Tengah ini terjadilah peristiwa penting kedua, Petapa Gautama menjadi Buddha di Bodhgaya. 

Selama 45 tahun dengan penuh kesadaran Sang Buddha atas pentingnya Dharma (ajaran kebenaran), kepada semua makhluk, Sang Buddha memimpin para Sangha untuk membabarkan Dharma agar semua orang di seluruh dunia bahkan semua makhluk dapat memperoleh kebahagiaan. Sang Buddha bersabda, “Segala sesuatu tidaklah kekal”, begitu pula tubuh jasmani beliau. Sang Buddha memberikan khotbah terakhirnya dan terjadilah peristiwa penting ketiga, Buddha parinibbāna di Kusinara.

Maka dari itu, momen ini mengkondisikan umat Buddha untuk merenungkan kembali dan merayakan hari Trisuci Waisak sebagai pengingat akan ajaran Beliau, ajaran yang dapat membawa kebijaksanaan dan kebahagiaan dalam menjalani kehidupan.

II. Kepemimpinan menurut Sutra

Pemimpin perlu memiliki sifat terbuka dan memiliki kekuatan karakter untuk membuat pilihan-pilihan yang bijak. Masalah yang kita lihat di sekeliling kita bukanlah tidak dapat diatasi, tetapi membutuhkan jenis kepemimpinan yang berbeda. Sebagai praktisi ajaran Buddha, kita dapat menemukan lebih banyak cara untuk benar-benar hidup pada saat ini, serta kita juga cenderung menemukan lebih banyak dan cara yang berbeda untuk mempengaruhi kehidupan orang lain.

Ajaran Buddha menganjurkan dalam Cakkavatti-Sīhanāda Sutta dan dilengkapi dengan nilai yang dijabarkan dalam Dhammaññūsutta bahwa kepemimpinan harus memiliki tujuh karakteristik yaitu:

  1. Atthaññū (mampu membedakan yang baik dan yang buruk)
  2. Mattaññū (mengetahui batas hukuman, dll.)
  3. Parisaññū (mengetahui perkumpulannya; seperti apa jenis orang seperti apa mereka)
  4. Dhammaññū (mengetahui kebenaran)
  5. Kalaññū (mengetahui waktu yang tepat untuk pekerjaan pengadilan, kesenangan, dan wisata)
  6. Attaññū (mengetahui kualitas diri; seperti tingkat keyakinan, etika, pembelajaran, kemurahan hati, kebijaksanaan, dan kefasihan diri sendiri)
  7. Puggalaparoparaññū (mengetahui kelebihan dan kekurangan)

Seorang pemimpin, menurut ajaran Buddha, harus memiliki integritas moral yang tinggi. Hal ini terutama ketika sistem monarki berlaku. Raja biasanya memiliki kekuasaan yang sangat besar yang berpusat pada dirinya yang dapat disalahgunakan oleh raja yang tidak bermoral. Untuk mencegah penyalahgunaan seperti itu, ajaran Buddha mengusulkan agar mereka melatih diri mereka sendiri dalam 10 prinsip yang disebut Dasa Rājādhamma yaitu:

  1. Dāna (kemurahan hati),
  2. Śīla (moralitas),
  3. Pariccāga (kedermawanan),
  4. Ajjava (kejujuran),
  5. Maddava (kelemahlembutan),
  6. Tapo (pengendalian diri),
  7. Akkodha (tidak adanya kemarahan),
  8. Avihimsā (tanpa kekerasan),
  9. Khanti (kesabaran), dan
  10. Avirodhana (tanpa halangan)

Dalam Avatamsaka Sutra, menurut sang Buddha bahwa berlindung dalam Sangha berarti seseorang harus menjadikan Sangha sebagai komunitas yang dikelola dengan baik dan harmonis bagi semua makhluk hidup dengan cara:

  • Kesetaraan Dalam Dharma
  • Kepemimpinan yang Terdesentralisasi
  • Dukungan dan Tanggung Jawab Bersama
  • Saling Menghormati dan Harmoni
  • Komunikasi dan Interaksi
  • Pemerintahan yang Demokratis

Didalam Parabhava Sutta Sang Buddha juga menjelaskan hal-hal yang membuat pemimpin mengalami keruntuhan, antara lain:

  • Membenci Dharma
  • Senang berteman dengan orang jahat
  • Suka tidur, cerewet, lamban, malas dan mudah marah
  • Tidak menyokong ayah ibunya yang sudah tua dan lemah walaupun kaya
  • Menipu dengan menyamar menjadi pendeta, bhikṣu atau guru spiritual lain
  • Menikmati harta, aset, kekayaan berlimpah sendirian
  • Sombong karena keturunan, kekayaan, atau lingkungannya, serta memandang rendah handai-taulan dan sanak-keluarganya
  • Senang bermain perempuan, mabuk-mabukan, berjudi, dan menghambur-hamburkan apa yang telah diperolehnya
  • Tidak puas dengan istrinya sendiri dan terlibat bersama pelacur atau istri orang lain
  • Cemburu memperistri orang yang masih muda setelah melewati masa muda
  • Mempercayai dan memberi kekuasaan pada wanita yang suka mabuk dan menghambur-hamburkan uang, atau pada laki-laki yang berperilaku seperti itu
  • Memiliki ambisi membara namun tak memiliki sarana memadai, yang mengejar kekuasaan atau ingin menguasai orang-orang lain

Oleh karena itu, selain menjaga kualitas diri, pemimpin juga harus memiliki kesadaran diri yang tinggi. Kesadaran ini sangat penting untuk mengenali dan memperbaiki kekurangan diri sendiri, serta untuk terus mengasah kemampuan dalam memimpin dengan bijaksana dan adil. Dalam kehidupan sehari-hari, kita semua adalah pemimpin dalam kapasitas tertentu, baik itu seorang ibu yang memimpin anak-anaknya, seseorang yang memimpin tim di tempat kerja, atau bahkan dalam memimpin diri sendiri. Oleh karena itu, sangat penting untuk selalu berlatih mawas diri, yakni menjadi sadar (mindful) dalam setiap tindakan dan keputusan yang kita ambil.

III. Kepemimpinan menurut Sutra

Raja  Ashoka, adalah pemimpin Kekaisaran Maurya yang terkenal di India kuno. Ia memerintah dari tahun 268 hingga 232 SM dan meninggalkan pengaruh yang bertahan lama melalui kebijakan perdamaian, toleransi beragama, dan kesejahteraan sosialnya. Alasan Raja Ashoka dihormati oleh masyarakat India Kuno, karena beliau memiliki beberapa karakteristik kepemimpinan yang patut diteladani oleh kita semua. Yang pertama kepemimpinan Etis dan tanggung jawab moral,  Ashoka menganut prinsip-prinsip kepemimpinan etis dan mengakui tanggung jawab moral seorang pemimpin terhadap kesejahteraan rakyat. Beliau memerintah dengan adil, penuh kasih sayang, dan memajukan kesejahteraan rakyatnya. Yang terakhir adalah kesadaran penuh dari Raja Ashoka yang dapat dilihat pada transformasi dan refleksi diri, transformasi Ashoka dari seorang penakluk yang kejam menjadi penguasa yang penuh kasih menunjukan kekuatan refleksi diri dan kemauan untuk berubah. Beliau mengakui kesalahan masa lalunya dan menggunakan perspektif barunya untuk menebus kesalahan dan mendorong perubahan positif dengan menjalankan kepemimpinannya sesuai dengan Dasa Rājādhamma.

Xuanzang, yang sering dikenal sebagai Tông Sam-tsōng, adalah seorang bhikṣu Tiongkok abad ke-7 yang terkenal akan jasanya dalam mengumpulkan Tripitaka dan perjalanannya ke India. Meskipun pada masanya terdapat kekacauan politik dan larangan bepergian ke luar negeri, ia memulai perjalanan 17 tahun nya untuk memperoleh teks-teks Buddhis otentik. Sepanjang ziarahnya, Xuanzang menghadapi berbagai tantangan, termasuk iklim yang ekstrim, gurun berbahaya, dan ancaman bandit. Namun, dedikasinya yang teguh dan pendekatan yang penuh kesadaran memungkinkannya untuk mengatasi rintangan-rintangan ini. Ketika Ia kembali dengan lebih dari 657 teks Sansekerta, ia menerjemahkannya dengan cermat untuk mengatasi perbedaan dan terjemahan yang tidak lengkap di Tiongkok. Usahanya ini memperkaya agama Buddha di Tiongkok secara signifikan. Catatan perjalanannya, Catatan Tang Agung mengenai Xiyu, menawarkan wawasan yang sangat berharga tentang Asia Tengah dan India abad ke-7, mencerminkan pengamatannya yang teliti dan rasa hormat budaya yang mendalam. Catatan ini tetap berharga hingga hari ini, memberikan sejarawan, cendekiawan, dan umat Buddhis dengan catatan rinci tentang geografi, budaya, dan praktik keagamaan di berbagai wilayah pada masa itu. Setelah kembali, Xuanzang menolak penawaran untuk posisi sipil tinggi dan memilih untuk berfokus pada penerjemahan dan pengajaran, menunjukkan pelayanan tanpa pamrih dan kerendahan hati. Perjalanan dan kontribusinya telah meninggalkan warisan berharga, menginspirasi generasi untuk mengejar pengetahuan dan kebijaksanaan spiritual dengan kegigihan dan integritas. 

Bodhidharma, juga dikenal sebagai Dámózǔshī di Tiongkok dan Daruma di Jepang, adalah seorang bhikṣu abad ke-5 yang diakui sebagai pendiri aliran Chan (Zen) agama Buddha di Tiongkok, menjadi sesepuh pertamanya. Terkenal karena dedikasinya terhadap prinsip-prinsip meditasi, pendekatan meditatif yang ditekuni Bodhidharma menekankan kesadaran penuh dan pengembangan kesadaran saat ini. Dalam sejarahnya, Ia telah menghadapi berbagai tantangan, termasuk keraguan Kaisar Wu dari Liang dan praktik asketis semasa sembilan tahun memandang tembok di Vihara Shaolin. Meskipun berbagai cobaan ini, komitmennya terhadap disiplin spiritual dan ajaran inovatifnya tentang “Dua Pintu Masuk dan Empat Praktik” membentuk dasar dari aliran Zen. Penekanannya pada pengalaman langsung dan pemahaman diri melalui praktik meditasi penuh kesadaran telah memberikan dampak signifikan pada tradisi Zen, juga memengaruhi seni bela diri dan ragam budaya di seluruh Asia Timur. Perjalanan dan ajaran Bodhidharma mencerminkan kepemimpinan dengan penuh kesadaran, ketahanan, dan keberanian untuk mengambil tindakan yang revolusioner dalam mengejar kebijaksanaan.

IV. Praktek Mindful Leadership dalam Sehari-Hari

A. Praktik Mindful Leadership

Mindfulness, yang sering dikenal sebagai “sati” dalam Bahasa Pali, merupakan konsep inti dalam praktik Buddhis yang berartikan “perhatian” atau “kesadaran”. Hal ini merujuk pada kemampuan untuk sepenuhnya hadir dan sadar akan momen saat ini, dengan penuh kesadaran dan tanpa prasangka. Jarang disadari, sikap mindful sesungguhnya memiliki peran penting dalam membentuk karakter diri kita. Seperti yang diungkapkan oleh sang Buddha dalam Nagaropamasutta:

“Dengan perhatian sebagai penjaga gerbangnya,

siswa mulia itu meninggalkan apa yang tidak bermanfaat

dan mengembangkan apa yang bermanfaat,

meninggalkan apa yang tercela

dan mengembangkan apa yang tanpa cela,

dan menjaga dirinya dalam kemurnian.”

(Nagaropamasutta, AN 7.67)

Konsep ini sangat relevan dengan evolusi kepemimpinan di dunia modern yang serba cepat dan penuh tekanan. Di mana kepemimpinan tradisional sering kali berkutat pada otoritas, ketegasan, dan terpaku pada hasil, “Mindful Leadership” menawarkan konsep baru yang menekankan pada pentingnya kesadaran, kesabaran, dan welas asih. Hal ini selaras dengan prinsip-prinsip yang diajarkan dalam Nagaropamasutta, dimana pemimpin yang mindful memilih untuk mengembangkan kualitas-kualitas yang bermanfaat – seperti empati, kesadaran diri, dan belas kasih – serta meninggalkan praktik-praktik yang tercela dan tidak produktif.

Penerapan mindful leadership menekankan praktik kesadaran dalam proses kepemimpinannya, hal ini merujuk pada kesadaran akan pikiran, emosi, dan tindakan diri sendiri, serta kepedulian terhadap kebutuhan dan kesejahteraan orang lain. Mindful leadership ditandai oleh beberapa ciri-ciri:

  1. Kesadaran Diri: Seorang mindful leader sangat menyadari keadaan internal dan lingkungan eksternal mereka. Mereka mempraktikkan introspeksi diri untuk memahami motivasi, bias, dan dampak mereka pada orang lain. Kesadaran diri ini memungkinkan mereka untuk memimpin dengan sepenuh hati dan keyakinan.
  2. Kehadiran Batin: Mindful leader sepenuhnya hadir dalam interaksi mereka. Mereka aktif mendengarkan dengan penuh perhatian dan terlibat secara tulus, menumbuhkan rasa hormat dan kepercayaan. Kehadiran batin inilah yang memungkinkan mindful leader untuk membangun hubungan yang kuat dengan lingkungan sekitarnya.
  3. Belas Kasih dan Empati: Para mindful leader sangat mengutamakan empati dan belas kasih, memahami bahwa kepemimpinan adalah tentang orang dan bukan hanya hasil. Mereka mengakui nilai di setiap anggota tim dan berusaha memahami perspektif yang beragam.
  4. Fleksibilitas: Praktik kesadaran memudahkan mindful leader agar dapat lebih baik beradaptasi dalam keadaan dan tantangan yang terus berubah. Mereka selalu menjaga pikiran terbuka, merespon situasi dengan pikiran yang tenang dan jernih.
  5. Kesabaran: Sebagai aspek penting dari mindful leadership, kesabaran memungkinkan mindful leader untuk merespon secara bijaksana dan tidak bereaksi secara impulsif. Praktik kesabaran dapat menumbuhkan budaya pengertian dan toleransi, di mana keputusan dibuat dengan pertimbangan dan kepedulian.

Dalam dunia yang seringkali dilanda stres dan tuntutan yang tak henti-hentinya, mindful leadership menawarkan pendekatan hidup dalam ketenangan dan kejernihan, mengubah respon diri kita dalam menghadapi berbagai tekanan kehidupan.

B. Mindful Leadership dalam Lingkungan Kerja

Dalam perjalanan kita sebagai mindful leader dalam lingkungan kerja, sering kali kita terjebak dalam suara-suara yang hanya menguatkan pendapat dan kepercayaan kita sendiri. Fenomena ini, yang dalam ajaran Buddha dapat disebut sebagai Ditthi upādāna atau keterikatan pada pandangan, sangat sering mengawali berbagai konflik dan ketidakharmonisan dalam lingkungan kerja.

Sebagai pemimpin yang mindful, penting bagi kita untuk mengakui bahwa kebijaksanaan tidak hanya berasal dari suara yang sejalan dengan pandangan kita. Mindful leadership mengajarkan kita untuk membuka diri terhadap semua suara, termasuk yang berbeda atau bertentangan dengan pandangan kita. Hal ini bukan tentang menang atau kalah dalam argumen, melainkan tentang memahami bahwa setiap perspektif membawa bagian kebenaran yang bisa kita pelajari. Dalam ajaran sang Buddha, konsep ini dikenal sebagai Majjhimāpaṭipadā atau Jalan Tengah, suatu pendekatan yang menghindari ekstremisme baik dalam penerimaan maupun penolakan.

“Ketika Anda mendengarkan seseorang,

Anda perlu menyerahkan semua ide prasangka dan opini subjektif Anda;

Anda hanya perlu mendengarkannya, mengamati caranya.”

(Zen Master Suzuki Shunryū)

Dalam praktiknya, sebagai pemimpin kita harus aktif mendengarkan, tidak hanya untuk memahami tapi juga untuk merenungkan dan menimbang semua perspektif. Hal tersebut membutuhkan kejernihan pikiran dan ketenangan hati, yang bisa dikembangkan melalui meditasi dan praktik mindfulness. Ketika kita mampu mendengar tanpa prasangka, kita membuka ruang bagi inovasi dan solusi kreatif yang mungkin tidak pernah kita pertimbangkan sebelumnya.

Selain itu, mindful leadership juga berarti mempraktikkan empati dan kesabaran. Mengakui bahwa setiap individu memiliki latar belakang dan pengalaman yang unik, yang membentuk pandangan mereka. Dengan menerapkan prinsip ‘compassionate listening‘ atau mendengarkan dengan penuh kasih sayang, kita tidak hanya memperkuat tim kita, tapi juga mendorong lingkungan kerja yang lebih harmonis dan produktif.

C. Mindful Leadership dalam Lingkungan Pendidikan

Dalam lingkup pendidikan, sering kali kita menemukan diri kita tengah berada di antara keberagaman karakter dan latar belakang yang unik. Perbedaan ini, walaupun memperkaya, kerap kali menjadi sumber konflik. Dalam situasi demikian, mencari jalan terbaik untuk menyelesaikan perselisihan menjadi tantangan, terutama ketika metode konvensional tampaknya tidak efektif atau bahkan memperburuk keadaan.

“Hadapi, Terima, Atasi, Lepaskan.”

(Dharma Master Sheng Yen)

Sebagai mindful leader, menghadapi situasi berarti mengakui dan menyadari perbedaan serta konflik yang ada tanpa penyangkalan atau penghindaran. Menghadapi adalah langkah awal untuk memahami inti permasalahan yang sebenarnya, bukan hanya gejala-gejalanya. Dengan sikap yang tidak defensif, kita membuka jalan untuk solusi yang konstruktif.

Menerima mengharuskan kita untuk mengakui bahwa perbedaan adalah bagian tak terpisahkan dari keberagaman. Menerima tidak berarti pasrah, melainkan penerimaan atas realitas bahwa setiap orang memiliki perspektif, pengalaman, dan motivasi yang unik. Dalam dunia pendidikan, hal tersebut berarti menghormati dan menghargai setiap suara, baik dari siswa maupun pendidik.

Mengatasi adalah tentang mencari solusi dan jalan tengah, di mana semua pihak dapat merasa dihargai dan kepentingannya terakomodasi. Ini mengharuskan kita untuk berpikir kreatif dan kolaboratif, mengeksplorasi berbagai alternatif dan kompromi untuk menemukan solusi yang paling adil dan efektif.

Melepaskan, sesuai dengan ajaran Dharma Master Sheng Yen, bukan berarti mengabaikan atau melupakan konflik yang ada. Sebaliknya, melepaskan berarti melepaskan diri dari keterikatan pada emosi negatif dan prasangka yang dapat menghambat penyelesaian konflik. Ini bukan tentang menyerah, tetapi tentang membebaskan diri dari beban mental yang dapat menghalangi objektivitas dan empati.

Dalam praktiknya, pendekatan ini mencerminkan esensi dari mindful leadership dalam pendidikan. Sebagai pemimpin yang mindful, pendidik diajak untuk membimbing dan memberi contoh. Sebaliknya, sebagai siswa, pendekatan ini mengajak untuk mengambil peran aktif dalam berkolaborasi dalam mengatasi tantangan dan konflik, memungkinkan mereka untuk tidak hanya memperkaya pengetahuan, tetapi juga untuk mengembangkan keterampilan hidup yang berharga.

D. Mindful Leadership dalam Kehidupan Pribadi

Seorang pemimpin yang mindful dalam kehidupan pribadi mengakui bahwa perilaku dan cara pandangnya terhadap dunia tidak hanya mempengaruhi dirinya sendiri, tetapi juga orang-orang di sekitarnya, terutama keluarga tercinta. Detail penting yang sering luput dari perhatian kita adalah bahwa semua makhluk ingin bahagia. Dalam kehidupan berkeluarga, seorang mindful leader memiliki kesadaran mendalam tentang fakta ini, dan mengerti bahwa setiap tindakan dan keputusan yang diambil harus mempertimbangkan kebahagiaan dan kesejahteraan seluruh anggota keluarga, bukan hanya dirinya sendiri.

“Dalam sebuah keluarga, jika ada satu orang yang menerapkan mindfulness,

Seluruh keluarga akan menjadi mindful.

Karena kehadiran satu anggota yang hidup dalam mindfulness,

Seluruh keluarga diingatkan untuk hidup dalam mindfulness.”

(Thích Nhất Hạnh)

Mindful leadership sangat berdampak dalam kehidupan berkeluarga, terutama dalam peran sebagai orang tua. Orang tua yang mengamalkan mindfulness tak hanya mendidik melalui kata-kata, tetapi lebih melalui tindakan dan perilaku sehari-hari. Anak-anak, yang secara alami mengamati dan meniru perilaku orang tua mereka, akan belajar pentingnya kehadiran mental dan emosi yang stabil dari contoh yang ditunjukkan oleh ayah dan ibu mereka. Sebagai contoh, seorang ayah yang menunjukkan kesabaran dan penerimaan dalam menghadapi kesulitan, atau seorang ibu yang menjaga ketenangan dalam konflik, secara tidak langsung mengajarkan anak-anak mereka bagaimana mengelola emosi dan tanggapan mereka terhadap berbagai situasi. Kehadiran mindfulness ini menciptakan lingkungan yang kondusif untuk pertumbuhan emosional dan psikologis yang sehat bagi setiap anggota keluarga.

Mengembangkan mindfulness dalam keluarga bisa dilakukan melalui praktik meditasi yang berbeda-beda. Salah satunya adalah mettā bhāvanā, atau meditasi kasih sayang, yang membantu membentuk cinta dan kasih sayang antar anggota keluarga. Samatha bhāvanā, atau meditasi ketenangan, berfokus pada pengembangan ketenangan batin dan kemampuan untuk mengelola pikiran. Sedangkan vipassannā bhāvanā, atau meditasi pandangan terang, yang mengarah pada pemahaman lebih dalam tentang sifat kehidupan dan keterikatan. Praktik-praktik ini tidak hanya mendukung kesejahteraan individu, tetapi juga dapat membentuk sikap mindful leadership dalam kehidupan berkeluarga.

“Tentu saja, ada banyak teknik meditasi,

namun pada dasarnya semuanya bermuara pada

satu hal ini — biarkan semua berjalan apa adanya.”

(Ajahn Chah)

Bagaimanapun tekniknya, melalui meditasi, kita dapat lebih memahami diri kita sendiri maupun orang lain, membawa dampak positif dimanapun kita berada. Dalam setiap perubahan kecil yang kita lakukan, perubahan besar akan mengikuti. Mulailah dari diri sendiri, dan saksikan bagaimana mindful leadership membawa perubahan positif di sekitar Anda.

V. PENJELASAN DIORAMA

A. Buddha Merawat Bhikṣu yang Sakit

Vesak Festival kali ini menampilkan rupang Buddha merawat bhikṣu yang sakit dengan didampingi oleh lima (5) bhikṣu lainnya dari berbagai tradisi dalam agama Buddha yang menggambarkan:

  • Sang Buddha sebagai sosok pemimpin yang penuh kesadaran secara bijaksana memberikan contoh secara langsung dan menuntun menuju pembebasan penderitaan.
  • Semua tradisi dalam Agama Buddha sepakat menjunjung welas asih dan kebijaksanaan dalam kehidupan sehari-hari dengan peduli terhadap kemanusiaan & lingkungan.

Rupang Buddha merawat bhikṣu yang sakit terinspirasi dari kisah yang tercatat pada Dharmapāda 18. Pada suatu hari, Buddha berkunjung dan bertemu dengan seorang bhikṣu tua yang berbaring karena sakit. bhikṣu tersebut tidak dapat bangun, yang mengakibatkan dia tidak dapat beraktivitas serta mengurus kebersihan diri. Bhikṣu tua tersebut terlihat pucat dan badannya penuh dengan kotoran. Buddha meminta 500 bhikṣu lainnya untuk datang membantu, namun karena bau busuk yang menyengat, membuat 500 bhikṣu tidak berani masuk ke dalam kuti bhikṣu tua tersebut. Buddha dengan welas asihnya mulai memandikan bhikṣu tua tersebut, 500 bhikṣu lainnya melihat kejadian dan menyesali tindakan mereka, kemudian mereka mulai membantu Buddha untuk membersihkan kuti bhikṣu tua tersebut. Buddha juga bersabda bahwa: “Seorang Tathāgata yang menampakkan dirinya dalam dunia ini, pastinya demi mereka yang tidak memiliki perlindungan dan membutuhkan pertolongan. Seseorang yang dapat merawat dan memenuhi kebutuhan bhikṣu yang sakit ataupun orang lansia, orang tersebut akan mendapatkan berkah yang tiada taranya serta apapun yang diinginkan akan tercapai”. 

Buddha juga pernah menjelaskan dalam ettorika agama bahwa seseorang yang menjenguk dan merawat mereka yang sakit, sama bagaikan menjenguk dan merawat Sang Buddha langsung. Tindakan menjenguk dan merawat ini merupakan praktik dāna yang luar biasa, siapapun yang menjenguk dan merawat mereka yang sakit akan mengumpulkan karma baik yang tiada-taranya, serta mendapatkan berkah dari para makhluk suci.

Dalam ajaran Buddha, semua fenomena di alam semesta merupakan hubungan sebab dan akibat, saling mempengaruhi dan bergantungan. Semua yang terjadi berdasarkan pada hukum sebab-akibat yang saling bergantungan (Paṭiccasamuppāda). Kepedulian terhadap kemanusiaan dan lingkungan akan mendorong kehidupan yang harmonis sejati yang saling mendukung dan membantu satu sama lain. Kehidupan harmonis yang sejati dipandu oleh emosi spiritual mettā dan karuṇā (belas kasih dan kasih sayang) serta keinginan untuk memberi atau membantu tanpa pamrih. Terkait hal tersebut Guru Agung Buddha memberikan perumpamaan pada bab ke-IV dalam Dhammapada:

“Bagaikan seorang kumbang mengumpulkan madu dari bunga-bunga
Tanpa merusak warna dan baunya;
Demikian pula hendaknya orang bijaksana
Mengembara dari desa ke desa.”

(Pupphavagga, Dhp 49)

Selayaknya seekor kumbang yang memanfaatkan keindahan bunga untuk diambil madunya akan tetapi disisi lain kumbang tersebut membantu proses penyerbukan. Memperlakukan alam secara bijaksana yang akan membawa keuntungan dalam melangsungkan kehidupan tanpa menimbulkan dampak kerusakan.

Untuk itu, mari kita selamatkan alam dengan senantiasa menjaga keseimbangan alam dan turut melestarikan dengan aksi nyata. Kurangi penggunaan kertas, hemat energi, dan melakukan penghijauan kembali merupakan hal yang patut kita lakukan. Alam yang hijau akan memberikan kedamaian dalam jiwa manusia.

Dari kisah tentang Buddha yang merawat seorang bhikṣu yang sakit, ditemani oleh lima bhikṣu lain dari berbagai tradisi dalam Agama Buddha, kita dapat menganalogikan Buddha sebagai dokter yang memberikan pengobatan, Dharma sebagai obat yang menyembuhkan, Sangha sebagai perawat yang memberikan dukungan, dan bhikṣu yang sakit sebagai perwakilan dari kita semua. Dengan berlindung dan mengamalkan ajaran Buddha, Dharma, dan Sangha, kita sedang dalam proses pemulihan menuju kesembuhan atau pembebasan yang diwakili oleh konsep menjadi Buddha (sembuh). Analogi ini menyoroti pentingnya menggunakan nilai-nilai agama Buddha sebagai pedoman untuk mencapai kesejahteraan dan pertumbuhan spiritual dalam praktik kepemimpinan yang penuh kesadaran.

B. Buddha Parinirvāṇa

Didalam Mahāparinirvāṇa Sūtra, Sang Buddha menyampaikan salah satu nasihat terakhir

Jangan karena Anda melihat saya mencapai Parinirvāṇa lalu menyimpulkan bahwa tiada lagi Buddhadharma. Śīla, Pratimokṣa, dan segala ajaran yang saya ajarkan hendaknya dijadikan sebagai Guru Anda.”

(Mahāparinirvāṇa Sūtra, T 7)

Sang Buddha mengajarkan pentingnya memimpin dengan kesadaran penuh (mindfulness) dan kebijaksanaan yang mendalam.

  • Pemberdayaan (legacy) melalui Ajaran:
    Sang Buddha tidak hanya fokus pada penggunaan kekuasaan atau otoritas pribadi. Sebaliknya, beliau mengajarkan dan mewariskan ajaran (Dharma) yang benar dan tata aturan (Śīla, Pratimokṣa) sebagai landasan bagi masyarakat dan para pengikutnya. Hal ini menunjukkan bahwa kekuatan sejati terletak pada pengetahuan dan kebijaksanaan, bukan sekadar dominasi.
  • Kontinuitas dan Keseimbangan:
    Seperti halnya Undang-Undang Dasar 1945 dan Pancasila yang menjadi pijakan bagi negara Indonesia, ajaran Sang Buddha juga memberikan landasan yang berkelanjutan dan seimbang bagi Sangha (komunitas biarawan) dan umat awam. Sang Buddha menegaskan pentingnya menjaga keseimbangan dalam berbagai aspek kehidupan spiritual dan sosial.
  • Pemimpin yang Tidak Egois:
    Sang Buddha menunjukkan teladan kepemimpinan yang tidak berkutat pada kepentingan diri sendiri. Beliau tidak mewariskan kekuasaan dalam keluarga atau keturunannya, melainkan membangun sistem ajaran yang dapat memberdayakan semua orang secara universal. Ini mencerminkan prinsip kepemimpinan yang sejati, di mana kepentingan bersama dan kesejahteraan umum menjadi prioritas utama.

Dengan demikian, Sang Buddha sebagai seorang Mindful Leader menegaskan bahwa kepemimpinan yang bermakna dan berkelanjutan adalah yang didasarkan pada kesadaran (mindfulness), belas kasih, dan kebijaksanaan yang bertujuan untuk pemberdayaan dan kesejahteraan bersama. Pesannya tetap relevan, inspiratif dan bisa dipraktekkan bagi para pemimpin masa kini untuk memimpin dengan integritas, kebijaksanaan, dan tanggung jawab yang mendalam.

C. Kelahiran Bodhisattva Siddhartha

Dari Langit hingga Bumi

Hanyalah Saya yang terhormat

Seluruh Alam Kehidupan penuh dengan Penderitaan

Hendaknya saya melenyapkannya” 

(Cāryanidāna Sūtra, T 184)

Kelahiran Bodhisattva Siddhartha, sebelum menjadi Buddha, mencerminkan tekad yang kuat dan komitmen yang luar biasa untuk mencapai tujuan spiritualnya, yaitu kelahiran terakhir sebagai seorang Buddha. Dalam hal ini seorang mindful leader juga membutuhkan tekad yang kuat untuk membawa perubahan positif dan memimpin dengan integritas.

Pada diorama ini juga ada ritual 浴佛 (Yù Fó), yang secara harfiah berarti Memandikan Buddha, yakni sebuah upacara dalam menyambut hari Kelahiran Bodhisattva Siddhārtha dengan menyiramkan air pada rupang Bayi Siddhārtha. Ritual ini dapat diinterpretasikan sebagai upaya untuk menyucikan diri dan meningkatkan kualitas pribadi, seperti perjalanan Bodhisattva Siddhartha yang bertransformasi menjadi Buddha. Seorang mindful leader senantiasa berusaha untuk berkembang dan menjadi lebih baik dari sebelumnya.

Dengan demikian, perjalanan Bodhisattva Siddhartha menuju pencerahan dan ritual memandikan rupang bayi Siddhārtha dapat menginspirasi konsep-konsep mindful leadership, termasuk komitmen dan tekad, transformasi pribadi, dan kesadaran akan peran seorang pemimpin yang menginspirasi dan membawa dampak positif bagi orang lain dan alam semesta. Marilah sambil melakukan proses memandikan bayi Siddhārtha, kita menekankan tekad yang kuat dan upaya untuk terus berkembang menjadi lebih baik sebagai seorang pemimpin dan individu.

D. Rupang Buddha dalam Perlindungan Mucalinda

Rupang ini terinspirasi dari kisah pada Mucalindasutta. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang berdiam di dekat Uruvelā, di tepi sungai Nerañjarā setelah mencapai pencerahan sempurna. Kebetulan terjadi hujan badai, awan hujan, angin dingin, dan cuaca yang tidak menentu. Kemudian Raja Naga Mucalinda, melingkarkan tubuhnya di sekitar tubuh Sang Bhagavā berdiri dengan membentangkan tudungnya di atas kepala Sang Bhagavā untuk melindungi Sang Bhagavā dari dingin dan panas, dari lalat pengganggu, nyamuk, angin, matahari, dan sentuhan binatang melata. Ketika langit  telah cerah dan awan hujan telah hilang, Mucalinda melepaskan gulungannya dari tubuh Sang Bhagavā, dan menampakkan wujud seorang brāhmaṇa muda, berdiri di hadapan Sang Bhagavā dengan tangan terlipat untuk menghormati-Nya.

Kemudian Sang Bhagavā yang telah memahaminya membabarkan:

Berbahagia adalah ketidakterikatan bagi seseorang yang puas hati,
bagi seseorang yang sudah belajar Dhamma dan yang melihatnya;

Berbahagia adalah tidak adanya penderitaan di dunia ini,
mengendalikan diri terhadap makhluk-makhluk hidup;

Berbahagia adalah tidak adanya nafsu di dunia ini,
mengalahkan nafsu-nafsu indria; 

tetapi menghilangkan kesombongan “aku”,
itu adalah benar-benar kebahagiaan tertinggi.

(Mucalindasutta, Ud 2.1)

Dari kisah ini, kita belajar bahwa sifat-sifat seperti perlindungan, perhatian terhadap kesejahteraan bersama, kerjasama, ketidak-ikatan, dan semangat kolaboratif merupakan inti dari mindful leadership. Seorang mindful leader memimpin dengan integritas, empati, dan visi yang luas untuk mencapai kebahagiaan sejati dan menciptakan perubahan yang positif bagi masyarakat dan alam semesta. Pesan ini menginspirasi kita untuk menjadi pemimpin yang lebih sadar dan bertanggung jawab dalam menjalani perjalanan kehidupan dan kepemimpinan.

VI. PENUTUP

Melalui setiap kata yang kita ucapkan, setiap keputusan yang kita buat, mindfulness haruslah menjadi dasar dari semua tindakan kita. Empati dan kebaikan harus menjadi inti dalam interaksi kita.

Mindful leadership mendorong diri kita untuk menjalani setiap momen dengan hati yang terbuka dan tulus, memimpin dengan teladan yang inspiratif. Dengan demikian, kita tidak hanya memenuhi potensi hidup kita, tetapi juga memberikan dukungan kepada mereka di sekitar kita untuk mengembangkan diri mereka masing-masing.


In every word we speak, 

mindfulness shall dwell,

With empathy and kindness, 

brimming in compassion.

A presence that ripples, 

a mind ever clear,

Lead with a heart

that’s open and sincere.

Mulailah dengan hal-hal kecil: setiap langkah kecil yang kita ambil, setiap usaha kecil yang kita lakukan, semuanya memiliki arti. Jadikan setiap hari sebagai kesempatan baru untuk tumbuh dan berkembang. Jangan biarkan kegagalan kecil menghentikan langkah kita, namun gunakanlah hal itu sebagai pelajaran berharga untuk melangkah lebih maju.